Kata Swastika berasal dari kata Su yang berarti baik, sejahtra, bahagia.. Asti berasal dari pokok kata ”as” (sangsekerta) yaitu merupakan bentuk ke dua yang artinya ”ada” (to be atau being). Akhiran ”ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Menurut aturan bahasa sangsekerta u+a pada kata Su dan Asti menjadi SWASTI. Jadi kalau digabungkan kata SU+ASTI+KA (Swastika) artinya ”dalam keadaan selamat”.
Penyelidikan archeologi untuk benda-benda jaman prasejarah menyatakan lambang SWASTIKA itu berasal dari Asia menyebar ke Eropa pada jaman kebudayaan perunggu (Bronze-age). Jadi dapat dikatakan lambang swastika telah ada perpuluh-puluh abad sebelum Budha lahir dan sudah dipergunakan sebagai lambang kesejahtraan dalam ke-agamaan pada jaman purbakala di india, cina, dan negeri-negeri Asia lainnya.
Bentuk dan Lambang
Menurut tulisan Swami Ajarananda dalam bukunya ”The Word and the Cross in Ancient India” yang bunyinya:
Original the form of swastika was two lines crossing each other, but afterwards its was shaped like
(Bentuk asli dari Swastika itu adalah dua garis bersilang sama tengah, tetapi perkembanganya kemudian berbetuk seperti ini)
Selanjutnya ia mengatakan bahwa :
The word Swastika had been in existence in the Sanskrit language long before Budha was born. And it was used as a religions emblem in India, Cina at last ten centuries before Christian era.
(Kata Swastika telah terdapat dalam bahasa Sangsekarta jauh sebelum Budha lahir. Dan telah dipergunakan sebagai lambang ke-Agamaan di negeri India dan Cina sekurang-kurangnya 10 abad sebelum munculnya agama Kristen).
Garis silang seperti ini di Bali disebut ”tampak/tapak dara” yang mitologinya terdapat dalam lontar Catur Bumi. Disebut demikian karena tapak kakinya burung dara tepat sebagai garis bersilang. Tanda ini pada masyarakat bali dipergunakan sebagai penawar, menghindari malapetaka antara lain untuk menandai sesuatu yang mengandung bahaya. Di Indiapun pada jaman dahulu tanda silang ini digunakan sebagai tanda bagi orang-orang buta huruf, hal ini dapat dibaca pada tulisan Swami Ajarananda yaitu :The Word and The Cross in Ancient India” sebagai berikut:
In the sanskrit grammar of Panini written at least 400 B.C. Swastika of Cross is described as one of the ancient signs for marking cattle and even to day cattle and sheep are marked with a cross by the illiterate classes of India.
(Dalam tatabahasa sansekerta karya Panini, yang ditulis lebih kurang 400 tahun sebelum masehi, silang (+) telah dipergunakan sebagai salah satu tanda kuno untuk menandai ternak, dan sampai sekarang ternak seperti biri-biri ditandai dengan silang (+) oleh orang-orang yang butahuruf di India).
Hal ini dimaksudkan agar ternak selamat dari berbagai macam bahaya dan penyakit.
Swastika sebagai lambang ke-Agamaan adalah alat pembantu pengikat hati dan keyakinan untuk lebih mendekatkan perasaan kepada cita-cita hidup keagamaan. Perputaran alam semesta (bhuana agung) dituangkan ke dalam lambang lukisan swastika yang dapat menimbulkan getaran perasaan adalah hasil kreasi yang memberi inspirasi hidup mengakui akan kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dimana manusia beserta mahluk lainnya terikat oleh hukum alam (cakra manggilingan) atau cakra pranawa. Penggunaan lambang swastika yang bertentangan dengan kesucian dan hukum kejiwaan akan digilas sendiri oleh kekuatan magis cakra manggilingan. Karena itulah Hitler yang mempergunakan lambang swastika miring sejak tahun 1919 maka ia -digilas hancur karena penyelewengan dan praktek-praktek yang bertentangan dengan arti swastika.
Di Tiongkok lambang swastika mengalami perubahan karena letaknya yang jauh dari sumber aslinya menjadi YIN dan YANG yang mengatur jalannya TAU (peredaran alam). Hal ini sesuai dengan pendapat S.Saripin dalam Sejarah Kesenian Indonesia yang menyatakan Swastika merupakan peredaran Alam dan merupakan pemujaan matahari di jaman kebudayaan perunggu. Selanjutnya Saripin juga menulis kesenian Indonesia kuna bersifat monumental dan juga bersifat lambang. Pada waktu itu banyak dibangun rumah dengan batu besar dan dibubuhkan lambang swastika untuk menghindari malapetaka dan mendatangkan kesuburan dan kebahagiaan.
Swami Ajarananda mengatakan denah kaki candi Borubudur merupakan Swastika, karena Budha banyak mempergunakan lambang swastika. Banyak lagi tembok pura-pura di Bali dengan sangat jelas menampakan lukisan swastika. Sir Stanford Raffles seorang Inggris yang lama di Jawa menulis ”Jawa menerima kebudayaan langsung dari India. Enam dari candi-candi yang tertua di Jawa tiga diantaranya berbentuk swastika”.
Denah rumah umat hindu di Bali juga mempunyai pola Swastika dimana Merajan diutara, bale dangin di timur, bale dauh di barat yang mempunyai bentuk dan ukuran menurut astakusala kusali sedangkan diselatan dapur.
Mistik
Swastika lambang peredaran alam semesta (Bhuana Agung) yang dijiwai oleh ucapan suci OM adalah pengikat rasa keyakinan akan. OM adalah Brahman, sesuai dengan Brihadaranyaka Upanisad,
VAK VAI BRAHMAN artinya ucapan sakti (OM) itu adalah Brahman (asal segala-galanya).
Ia merupakan permulaan dak keadaan yang menjiwai alam semesta ini. Brahmanda purana menyebutkan NUR yang berarti cahaya.
Duk tan hana paran-paran hana nur. Artinya ketika tidak ada apa-apa ada cahaya.
Cahaya ini adalah OM yang berwujud tunggal memenuhi Bhuana Agung ini. Menurut Ilmu pengetahuan Cahaya adalah hasil pertemuan elektron positif (purusa) dan elektron negatif (pradana) yang bersifat rwa bineda (bertentangan). KV Gajendragadkar dalam Neo-Upanishadic Philosophy mengatakan ”Ia adalan lambang dari kekuatan mencipta, memelihara dan melebur dunia. Seluruh alam semesta bergerak karena OM dan akhirnya kembali kepada OM. Gaya kekuatan mencipta (Utpatti) ditandai dengan aksara A yang pengucapannya menjadi ANG manifestasi Tuhan yang berwujud Brahma. Kekuatan memlihara U yang pengucapannya menjadi UNG adalah menifestasi Tuhan yang berwujud Wisnu. Dan akhirnya kekuatan untuk menghancurkan dunia ini (pralina) dilambangkan dengan aksara M yang pengucapannya menjadi MANG adalah manifestasi Tuhan yang berwujud Ciwa. A.U.M (ANG, UNG, MANG) ini dinamakan tri aksara mempunyai kekuatan gaib yang gunanya untuk menentramkan tri kaya atau tri pramana (bayu, sabda, hidep) kalau diwujudkan dalam Bhuana Alit yaitu raga sarira sendiri.
Kalau Tri Aksara ini dikembangkan maka akan menjadi WIJA AKSARA PANCA BRAHMA dan PANCA AKSARA. Wija aksara Panca Brahma yaitu :
Sa – tempat di timur, dewanya Sanghyang Sadhya
Ba – tempat di selatan, dewanya Sanghyang Bamadewa
Ta – tempat di barat, dewanya Sanghyang Tatpurusa
A – tempat di utara, dewanya Sanghyang Aghora
I – tempat di tengah-tengah dewanya Sanghyang Icana
Panca Aksara adalah NA, MA, CI, WA, YA artinya hormat pada Ciwa. Aksara ini adalah manifestai Tuhan yang berwujud Ciwa. Kalau digambarkan sebagai suatu lukisan maka akan terbentuk lambang swastika yang masing-masing ujungnya menunjukan arah Loka Pala.
Kalau ujungnya dihubung-hubungkan maka terjadilah bulatan (circle) yang bergerak menurut peredaran dunia (Cakra Manggilingan). Pada masing-masing penjuru ada juga Dewanya yaitu :
Di tenggara Mahadewa,
Di barat daya Rudra
Di barat laut Sangkara
Di timur laut Sambhu
Di tengah-tengah Ciwa
Apa yang terjadi di Bhuana Agung terjadi pula di Bhuana Alit tiap-tiap manusia itu sendiri. Sedih, gembira, tertawa, menagis, suka duka, hidup, mati dal lainnya datang silih berganti adalah merupakan perputaran yang terus menerus tiada henti. Itulah sedikit mengenai Lambang Swastika moga bermanfaat.
Kamis, 29 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar